
State of mind itu menunjukkan suasana hati atau “mood” seseorang atau pandangan dari seseorang atau juga keadaan kondisi mentalnya. State of mind itu tak beda halnya dari keadaan berpikir seseorang. Seperti hukum Pygmalion, hukum berpikir positif: “Ketika anak-anak mencuri apel di kebunnya, Pygmalion tidak mengumpat. Ia malah merasa iba, "Kasihan,anak-anak itu kurang mendapat pendidikan dan makanan yang cukup di rumahnya." Itulah pola pandang Pygmalion. ia tidak melihat suatu keadaan dari segi buruk, melainkan justru dari segi baik. Ia tidak pernah berpikir buruk tentang orang lain, sebaliknya ia mencoba membayangkan hal-hal baik di balik perbuatan buruk orang lain. Di saat suatu pribadi utuh mempunyai state of mind yang baik, maka ia akan merespon hal yang baik yang ada di sekelilingnya bukan menghujat, mengumpat, berontak atau apa saja.
Apakah pengaruh “state of mind” itu sendiri terhadap kemajuan bangsa? Hal ini tentu saja berpengaruh. Jika kita kembali bertanya apa yang membuat suatu bangsa itu terpuruk, tidak disiplin, dan keras? Maka jawabannya adalah di saat mental bangsa itu sendiri sudah membudaya dengan “state of mind” yang negatif. Masyarakat-masyarakat yang ada di dalam suatu negara itu sendiri tidak bisa merespon apa yang ada di sekelilingnya dengan interaksi yang positif. Kita misalkan ketika pemerintah membuat perundang-undangan mengenai aksi pornografi dan pornoaksi, sangat banyak pendapat dari kaum elite politik, masyarakat, dan mahasiswa. Masing-masing pihak ada yang pro dan kontra. Ketika state of mind kita pada saat itu tidak mampu menanggapi dengan positif maka di saat kita didoktrin dengan pikiran-pikiran yang negatif dari pihak oposisi, dengan mudahnya black of mind menjerumuskan kita sehingga terjadilah demonstrasi, untungnya jika berjalan dengan mulus tapi tidak sedikit kasus yang menunjukkan keanarkisan suatu bangsa. Hal ini menunjukkan kerasnya bangsa, pola kedisiplinan tidak dibekali pada diri masing-masing. Jika seperti itu semakin banyak aturan maka semakin banyak pula pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak yang state of mind-nya negative.
Ketika kita bertanya bagaimana kita mencari solusi atas perubahan state of mind suatu bangsa yang sudah jelek? Maka jawaban konkritnya tidak ada, karena untuk merubah state of mind suatu bangsa bukan semudah membuat seekor merpati jinak sehingga kembali ke kandangnya dengan sendirinya. Untuk mendidik seorang anak saja terkadang butuh kerja keras dan sulit sekali apa lagi merubah pola suatu bangsa. Tapi jika menjawab pertanyaan di atas mungkin bisa kita lakukan dengan cara merubah state of mind dari diri sendiri dulu, state of mind masing-masing individu yang harus dirubah. Dengan merubah individu maka kita akan merubah masyarakat, dengan merubah masyarakat maka kita dapat merubah suatu bangsa. Karena budaya-budaya telah terbentuk oleh individu dengan sendirinya bangsa akan membentuk mindset yang dapat membawa kemajuan bangsa.
If you want to a success , you must change! if you never or not change, you will be die. Seperti istilah tersebut maka bangsa ini tidak akan maju jika kita tidak melakukan perubahan, jika kita tidak berubah kita akan ”mati” atau dengan kata lain terpuruk selamanya, terjerat dalam dilema dan fenomena-fenomena miring. Terkadang kita sudah tahu cara lama tidak akan bisa mengubah keadaan tetapi kita tetap saja mempertahankan cara lama itu. Seperti jawaban atas pertanyaan di atas, memang tidak mudah merubah bangsa yang sudah membudaya dan menjadi akar di dalam dirinya,apalagi negara seperti bangsa kita ini. Negara yang mempunyai persatuan dan kesatuan tapi pada hakikatnya memiliki budaya dan karakter masing-masing dari daerah dan sukunya.
Jika kita melihat contoh dari negara-negara tetangga kita, mereka selangkah jauh lebih maju daripada negara kita. Seperti Malaysia, dahulunya kita adalah pengekspor guru-guru khususnya matematika ke negara tersebut, hal ini tentunya menunjukkan bahwa sebenarnya bangsa kita mempunyai aset orang-orang pintar. Tapi mengapa hal itu sekarang malah berbanding terbalik, Malaysia lebih maju daripada kita? Karena Malaysia sudah merubah cara-cara lama dengan cara-cara baru menuju perubahan, dan state of mind bangsa Malaysia itu sendiri tipe bangsa yang menurut dengan “titah” kerajaannnya. Sehingga tidak sulit merubah bangsa Malaysia untuk maju. Dan berbeda sekali dengan Negara kita yang dari dulu hingga kini tidak membawa perubahan yang signifikan, kita ingin perubahan tapi tak ingin menderita, tak ingin bekerja keras, tidak disiplin dan tidak menaati peraturan yang ada. Untuk merubah bangsa ini kita harus merubah state of mind bangsa ini , dan merubahnya harus dimulai dari diri sendiri.
Menanamkan state of mind yang positif pada diri seseorang bukan ditanamkan sejak ia telah menjadi warga negara yang baik ataupun seorang yang telah menjadi “orang”, melainkan state of mind ini perlu ditanam sejak ia mendapatkan pendidikan karakter sejak usia dini.
Pembentukan pola fikir dan karakter tidak terjadi secara spontan, namun melalui proses panjang yang harus dimulai sejak dini. Usia tersebut relatif sesuai dimana anak harus sudah mulai dibentuk karakternya. Thomas Lickona menyatakan “A child is the only known substance from which a responsible adult can be made”. Maksudnya seorang anak adalah satu-satunya substansi yang dapat membentuk seorang dewasa yang bertanggung jawab.
Pembangunan karakter menjadi sebuah jalan untuk membentuk pola fikir yang beradab, dan harus ditumbuhkan pada otak-otak kecil seorang anak. Nilai-nilai karakter yang perlu kepada anak-anak adalah nilai universal yang mana seluruh agama, tradisi dan budaya pasti menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku dan agama. (Megawangi R, 2007).
Nilai-nilai yang perlu diajarkan kepada anak-anak usia dini yang dirumuskan dalam sembilan pilar karakter yang meliputi: cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran, hormat dan santun, dermawan, suka menabung dan gotong royong, percaya diri, kreatif dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, toleransi serta kedamaian dan kesatuan. Bila agama, budaya dan pilar-pilar nilai ini ditanamkan dan diterapkan ke anak, maka akan terbentuk seorang anak yang berkarakter.
Dalam deklarasi Aspen mencetuskan adanya pilar utama yang harus diajarkan pada anak-anak untuk memperbaiki karakter, antara lain: dapat dipercaya (trustworthy) yang meliputi kejujuran (honesty) dan integritas, memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect), bertanggung jawab (responsible), adil, kasih sayang dan menjadi warganegara yang baik (good citizen).
Dasar dari perlunya pengembangan karakter adalah ditemukannya sebuah teori tentang Magnetic Field of Heart. Magnetic Field of Heart mempunyai medan magnet lima ribu kali lebih luas dibandingkan Magnetic Field of Brain. Hati tiap manusia mempunyai medan magnet dan gravitasinya sendiri. Magnetic field of heart akan membuat kita mengenali kemampuan manusia itu sendiri. Medan magnet positif akan membawa kebahagiaan. Sebaliknya justru membawa kita ke penderitaan. Contoh: mengapa kita senang berteman dengan seseorang, mengapa ada yang senang dengan kita, mengapa ada yang menolak kita, hal itu terjadi karena ada daya tarik dan tolak menolak di antara kita. Itu semua karena magnet hati yang kita miliki. Maka gelombang magnet yang kita pancarkan akan menarik kembali apa-apa di sekeliling kita yang sesuai dengan gelombang tersebut. Berarti dengan mendidik anak menjadi seorang yang berkarakter baik, kita telah menciptakan anak yang mempunyai medan magnet positif dan bisa memberikan dampak positif kepada orang lain dan menarik hal-hal positif kembali ke dirinya sendiri.
Pendapat para pakar pendidikan anak, karakter ditentukan oleh dua faktor, yaitu nature atau faktor alami (fitrah) dan nurture melalui sosialisasi dan pendidikan. Secara alami manusia memiliki fitrah yang baik. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh bagaimana sosialisasi dan pendidikan yang diberikan kepada anak semasa tumbuhnya. Permasalahan di negara kita adalah lembaga pendidikan yang kurang mementingkan pengembangan karakter. Siswa-siswa dituntut untuk menjadi pintar, bukan menjadi seorang yang baik. Anggapan bahwa orang pintar mempunyai karakter yang baik tidak selamanya benar. Banyak orang Indonesia yang pintar, namun dalam perkembangannya mereka menjadi seorang pembohong, suka menghalalkan segala cara dan tidak menggunakan ilmunya untuk kebaikan. Individu-individu seperti ini yang bisa merusak masyarakat dan bangsa. Peranan penting juga ada pada orang tua melalui pendidikan setiap hari di rumah. Kesadaran orang tua akan pentingnya pengembangan karakter yang masih kurang, membuat perkembangan karakter anak terhambat. Mereka lebih senang melihat anaknya berprestasi di sekolah yang lebih mementingkan nilai, bukan proses. Hal ini mendorong anak-anak yang tidak bisa mengikuti standar pelajaran untuk mulai belajar menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil yang memuaskan demi memenuhi tekanan dari orang tuanya.
Suatu bangsa yang maju dapat dibentuk dengan merubah state of mind dari setiap individu masyarakat. Membentuk individu lebih mungkin dilakukan sejak anak masih dalam usia dini dengan memperhatikan perkembangan anak dan mengarahkannya ke arah yang benar. Dengan acuan pada agama, nilai-nilai dan budaya. Dengan karakter yang baik akan tercipta magnetic field of heart positif yang akan menciptakan dan menarik hal-hal baik di lingkungan sekitarnya. Dengan tercipta individu yang baik dan berkarakter akan menciptakan masyarakat yang baik pula. Dengan tercipta masyarakat yang baik akan tercapai kemajuan bangsa. Dengan kata lain, kemajuan suatu bangsa tercipta dari peran orang tua dan masyarakat dalam membentuk karakter anak yang akan dibawanya seumur hidup.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.heartmath.org/ tanggal akses: 9 November 2009
Martin Seligman: Positive Psychology. http://www.ppc.sas.uppen.edu/
Megawangi, R. 2007. Pengembangan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation
written by
Luthfyrakhman
No comments:
Post a Comment